Thursday 5 February 2015

Lima Faktor Perusak Akidah


Oleh: Ustadz H Sufyan Tsauri MA
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Dalam agama, akidah sangatlah penting. Ibarat bangunan, akidah merupakan pondasi yang mempengaruhi seluruh bangunan. Ketika seseorang memiliki akidah yang kuat, maka Insya Allah pengamalan agamanya juga akan kuat.
Tapi kalau akidah rapuh, maka pengamalan agama juga akan rapuh. Karena itu, saat Rasulullah diutus untuk menyampaikan akidah, rentang waktunya lebih lama dibandingkan menyampaikan ibadah, yakni 13 tahun. Sedangkan menyampaikan ibadah, waktunya hanya sepuluh tahun. 
 
Akidah bisa membuat orang selamat di dunia dan akhirat. Di dunia, seseorang yang memiliki akidah yang ‘salah’, akan membuat umat maupun pemerintah menjadi marah. Jika di dunia saja dusah begitu, apalagi nanti di akhirat. 
 
Banyak hal yang bisa merusak akidah. Pertama karena faktor pendidikan. Dengan pendidikan yang lemah, maka akidah orang juga akan mudah goyah. Karena itu, pendidikan akidah harus diajarkan sedini mungkin. Bahkan, dalam Islam, agar memiliki anak-anak shaleh dan shaleha, maka pendidikan akidah sudah dimulai sebelum menikah. Setelah itu, pendidikan akidah juga ditanamkan pada anak saat masih dalam kandungan, saat dilahirkan dan sesudah dilahirkan, maupun selama masa pertumbuhannya.
 
Faktor kedua yang bisa merusak akidah adalah ekonomi. Lemahnya ekonomi bisa membuat akidah seseorang menjadi goyah. Kemiskinan bisa membuat orang berpindah keyakinan.
 
Faktor ketiga adalah politik. Hal itu seperti yang pernah terjadi pada bangsa Indonesia saat dijajah Belanda yang merupakan non muslim. Selain merampas kekayaan alam, para penjajah juga datang dengan misi menyebarkan agama mereka pada penduduk lokal.
 
Faktor lain yang bisa merusak akidah adalah sosial. Ketika di masyarakat terjadi bentrokan hingga menimbulkan teror, maka orang akan mencari perlindungan pada orang atau kelompok yang dianggap bisa memberikan keamanan dan kenyamanan. Namun yang berbahaya, jika orang/kelompok yang dimintai perlindungan itu berasal dari kelompok non muslim. Dalam kondisi seperti itu, akidah seseorang  bisa terpengaruh.
 
Dari semua faktor itu, yang paling penting adalah faktor orang tua. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW menyatakan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Lalu kedua orang tuanyalah yg menjadikannya sebagai yahudi, nasrani dan majusi. Hal itu menunjukkan betapa besar peran orang tua dalam menentukan akidah setiap anak. 
 
Karena itu, kami tak hanya fokus memberikan pendidikan agama pada anak-anak, tapi juga aktif mengembangkan berbagai majelis taklim untuk para orang tua. Tujuannya, agar orang tua memiliki akidah dan pemahaman agama yang baik, yang akan diajarkannya kepada anak-anaknya.
 
Untuk mempertahankan akidah dari berbagai faktor yang bisa menyebabkan rusaknya akidah, maka harus menguatkan mutu pendidikan, terutama pendidikan agama. Selain itu, harus tercipta kestabilan  dan keamanan daerah.

Dari segi ekonomi, kita harus menumbuhkan kesadaran kepada orang yang mampu agar bisa memberikan pekerjaan atau lapangan pekerjaan kepada mereka yang membutuhkan. Pemerintah juga diharapkan memberikan pelatihan keterampilan agar mereka bisa hidup mandiri.
 
Selain itu, supaya anak-anak memiliki akidah yang kuat, selain pendidikan, orang tua juga harus melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku dan pergaulan anak. Apalagi di zaman perkembangan teknologi yang demikian pesat, berbagai informasi yang mudah didapatkan anak, harus bisa disaring dan dijelaskan oleh orang tua.

Sumber : republika.co.id

 
Share:

Para Penghapal Alquran di Jam Sibuk


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandangan mata fokus melihat jalan dan tangan kanan tidak terlepas dari setir, sementara beberapa kali tangan kiri mengoper gigi.
Meski asyik mengendarai mobil, telinganya terus mendengarkan lantunan ayat Alquran yang diperdengarkan melalui pemutar musik. Sesekali mulutnya menirukan bacaan-bacaan tersebut.

Bagi orang yang sibuk bekerja, persoalan membaca dan menghafal Alquran bisa jadi rumit. Membagi waktu antara menunaikan keutamaan sebagai Muslim dan kewajiban dunia terkadang bisa jadi masalah tersendiri.

“Kalau benar-benar sibuk saya biasa mengakali waktu dengan mendengarkan murotal Alquran sembari menyetir mobil,” ujar Khalifah Ali, akhir pekan lalu.

Keseharian pemuda 29 tahun ini diisi dengan bekerja sebagai dosen Jurusan Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia selalu yakin, menghafal Alquran akan menuai banyak keutamaan di dunia dan akhirat.

Membaca serta menghafal ayat-ayat suci mau tidak mau harus menyediakan waktu khusus. Hamzah Muhammad, konsultan pertambangan yang perusahaannya beralamat di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, misalnya. Baginya setelah ibadah shalat Subuh merupakan waktu yang paling ideal untuk itu.

Pada jam-jam tersebut ia merasa belum disibukkan oleh urusan dunia, “Mulai dari Subuh sampai selesai pukul 06.00.” Sesampainya di kantor, tidak berarti ia tidak menyempatkan waktu. 

Umumnya bagi pekerja kantoran, pukul 12.00 sampai 13.00 siang adalah waktu untuk beristirahat. Sebagian ada yang menggunakannya untuk makan siang atau sekadar melepas penat setelah bekerja di belakang meja. 

Sementara bagi Hamzah, ia memilih memanfaatkan jeda tersebut untuk mengulang kembali hafalannya. “Karena saya sudah punya target, misalnya, satu bulan harus khatam baca. Jadi, setiap hari harus bisa selesai baca satu juz,” ujar Hamzah.

Hal serupa juga dilakukan Dewi Untari. Dokter gigi yang membuka praktik di daerah Kelapa Hijau mengaku mengurangi waktu tidurnya selama dua jam setiap hari agar bisa menghafal Alquran. “Umur saya terus bertambah, bekalnya untuk menghadap Allah juga harus bertambah,” ujarnya.

Dewi mengaku motivasinya menghafal Alquran terus bertumpuk karena interaksinya dengan pasien. “Mendengarkan pengalaman hidup mereka membuat motivasi saya bertambah,” kata Dewi Untari menjelaskan.

Memang, tak semua orang rela mengurangi waktu tidurnya, sebagian pekerja seperti pegawai kantoran lebih memilih untuk mendatangi lembaga penghafal Alquran di hari senggang mereka.

Salah satu lembaga tersebut bernama Rumah Quran Al-Insan yang didirikan sejak empat tahun lalu.  Berawal dari 18 orang, sekarang lembaga ini sudah punya ratusan anggota dari empat cabangnya di Jakarta.
“Berbagai macam latar belakang yang mengaji di sini, ada buruh, pekerja kantoran, pekerja bank, mereka biasa datang hari Sabtu,” kata Istidamatin, salah satu dari tiga pendiri Rumah Quran Al-Insan.

Berawal dari rasa keprihatinan karena banyaknya Tempat Pengajian Anak (TPA), tapi tidak ada untuk orang tua mereka. Perempuan yang biasa disapa Isti ini sering kali menemukan seorang ibu yang tidak bisa membaca Alquran padahal anaknya sudah lancar.

“Dengan berada di lingkungan yang tepat, semangat menghafal dan membaca akan terus terjaga,” kata perempuan 49 tahun ini menerangkan. ¦ 
Sumber : republika.co.id

Share: