Thursday 5 February 2015

Para Penghapal Alquran di Jam Sibuk


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandangan mata fokus melihat jalan dan tangan kanan tidak terlepas dari setir, sementara beberapa kali tangan kiri mengoper gigi.
Meski asyik mengendarai mobil, telinganya terus mendengarkan lantunan ayat Alquran yang diperdengarkan melalui pemutar musik. Sesekali mulutnya menirukan bacaan-bacaan tersebut.

Bagi orang yang sibuk bekerja, persoalan membaca dan menghafal Alquran bisa jadi rumit. Membagi waktu antara menunaikan keutamaan sebagai Muslim dan kewajiban dunia terkadang bisa jadi masalah tersendiri.

“Kalau benar-benar sibuk saya biasa mengakali waktu dengan mendengarkan murotal Alquran sembari menyetir mobil,” ujar Khalifah Ali, akhir pekan lalu.

Keseharian pemuda 29 tahun ini diisi dengan bekerja sebagai dosen Jurusan Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia selalu yakin, menghafal Alquran akan menuai banyak keutamaan di dunia dan akhirat.

Membaca serta menghafal ayat-ayat suci mau tidak mau harus menyediakan waktu khusus. Hamzah Muhammad, konsultan pertambangan yang perusahaannya beralamat di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, misalnya. Baginya setelah ibadah shalat Subuh merupakan waktu yang paling ideal untuk itu.

Pada jam-jam tersebut ia merasa belum disibukkan oleh urusan dunia, “Mulai dari Subuh sampai selesai pukul 06.00.” Sesampainya di kantor, tidak berarti ia tidak menyempatkan waktu. 

Umumnya bagi pekerja kantoran, pukul 12.00 sampai 13.00 siang adalah waktu untuk beristirahat. Sebagian ada yang menggunakannya untuk makan siang atau sekadar melepas penat setelah bekerja di belakang meja. 

Sementara bagi Hamzah, ia memilih memanfaatkan jeda tersebut untuk mengulang kembali hafalannya. “Karena saya sudah punya target, misalnya, satu bulan harus khatam baca. Jadi, setiap hari harus bisa selesai baca satu juz,” ujar Hamzah.

Hal serupa juga dilakukan Dewi Untari. Dokter gigi yang membuka praktik di daerah Kelapa Hijau mengaku mengurangi waktu tidurnya selama dua jam setiap hari agar bisa menghafal Alquran. “Umur saya terus bertambah, bekalnya untuk menghadap Allah juga harus bertambah,” ujarnya.

Dewi mengaku motivasinya menghafal Alquran terus bertumpuk karena interaksinya dengan pasien. “Mendengarkan pengalaman hidup mereka membuat motivasi saya bertambah,” kata Dewi Untari menjelaskan.

Memang, tak semua orang rela mengurangi waktu tidurnya, sebagian pekerja seperti pegawai kantoran lebih memilih untuk mendatangi lembaga penghafal Alquran di hari senggang mereka.

Salah satu lembaga tersebut bernama Rumah Quran Al-Insan yang didirikan sejak empat tahun lalu.  Berawal dari 18 orang, sekarang lembaga ini sudah punya ratusan anggota dari empat cabangnya di Jakarta.
“Berbagai macam latar belakang yang mengaji di sini, ada buruh, pekerja kantoran, pekerja bank, mereka biasa datang hari Sabtu,” kata Istidamatin, salah satu dari tiga pendiri Rumah Quran Al-Insan.

Berawal dari rasa keprihatinan karena banyaknya Tempat Pengajian Anak (TPA), tapi tidak ada untuk orang tua mereka. Perempuan yang biasa disapa Isti ini sering kali menemukan seorang ibu yang tidak bisa membaca Alquran padahal anaknya sudah lancar.

“Dengan berada di lingkungan yang tepat, semangat menghafal dan membaca akan terus terjaga,” kata perempuan 49 tahun ini menerangkan. ¦ 
Sumber : republika.co.id

Share:

0 comments:

Post a Comment